Selasa, 08 April 2014

NEW PUBLIC SERVICE (NPS)


By. Resky Amalia P

Adakah Teori Administrasi Negara?
Berkenaan dengan ilmu administrasi negara sebagai ilmu terapan, maka pertanyaan yang kira-kira logis untuk diajukan adalah; adakah teori administrasi negara? Pertanyaan ini mungkin latah, tetapi layak untuk dikemukakan karena sebelum terlalu jauh terperosok ke dalam teori-teori administrasi negara yang sudah semakin canggih, sebaiknya kita harus mengetahui nature yang membentuk ilmu administrasi negara itu.
Banyak tulisan yang membahas tentang administrasi negara dan teori administrasi negara, tetapi penulis belum menemukan buku atau tulisan yang berani mengklaim bahwa ada spesifikasi teori administrasi negara.[1] sampai saat ini belum ada tulisan yang berani menyatakan bahwa teori administrasi negara adalah teori tentang “A”, “B” atau “C” dan seterusnya. Kebanyakan buku yang beredar di kalangan praktisi dan akademisi, baik yang berbahasa Inggris maupun yang ditulis oleh orang Indonesia sendiri, hanyalah berbicara tentang teori birokrasi, manajemen publik, kebijakan publik, pelayanan publik, kinerja, kepegawaian dan lain-lain yang notabene bukanlah teori “asli” dan secara ekslusif serta pribadi dimiliki oleh ilmu administrasi negara. Teori birokrasi misalnya adalah teori tentang bagaimana menata organisasi secara profesional yang pada hakikatnya berasal dari sosiologi, dan filsafat organisasi. Begitu juga dengan teori manajemen publik yang merupakan teori yang berasal dari disiplin ilmu ekonomi manajemen yang digunakan untuk mengelola organisasi publik.
Lalu, mana teori administrasi negara? Jawabannya adalah tidak ada teori administrasi negara. Oleh karena ilmu administrasi negara adalah ilmu sosial terapan, maka administrasi negara banyak meminjam teori dan konsep dari ilmu sosial lainnya seperti politik, sosiologi, hukum, ekonomi, psikologi, sejarah, antropologi, termasuk juga statistik, komputer dan lain-lain untuk memecahkan masalah-masalah publik (public affairs). Dewasa ini masalah-masalah publik semakin lama semakin kompleks dan rumit sehingga tidak cukup satu pendekatan saja (single approach) untuk memecahkannya. Akibatnya, ilmu administrasi negara tidak memiliki kerangka teori yang berdiri sendiri (body of knowledge). Dengan demikian kita dapat memahami bahwa no theory of public administration but there is theories in public administration only.

Memahami Teori dalam Administrasi Negara
Teori dalam administrasi negara dapat dilacak dari perkembangan paradigma ilmu administrasi negara itu sendiri. Pada awalnya, paradigma adalah konsep yang digunakan oleh kalangan ilmuwan natural science untuk menjelaskan fenomena perkembangan ilmu. Namun kemudian, paradigma juga dipakai oleh scientist ilmu-ilmu sosial untuk memetakan perkembangan ilmu sosial. Pada prinsipnya paradigma adalah cara pandang sekelompok orang atau pakar dalam melihat dan menganalisis fenomena sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Paradigma juga digunakan sebagai landasan filosofis dan ideologis dalam menelaah dan mengkritisi isu-isu sosial. Paradigma seringkali dikonotasikan sebagai perspektif atau paham oleh sebagian orang. Konsep paradigma berawal dari pemikiran Thomas S. Kuhn. Kuhn mendefinisikan paradigma sebagai:
The overarching set of accepted, and most of the time unquestioned beliefs that are jointly held by researchers and praticioners in a discipline…it is characterized by a symbolic generalizations, shared commitment to a specific set of beliefs by members of the discipline and shared values…[2]

NPS: Paradigma Mutakhir Administrasi Negara
Paradigma administrasi Negara sudah jauh bergeser dan meninggalkan pendulum dikotomi politik-administrasi. Dalam konteks kekinian, paradigma dikotomi politik-administrasi yang terkenal dengan adagium when political end, administrative begin kurang relevan dengan perkembangan teori dan praktik administrasi negara. Bahkan sebenarnya, administrasi negara sudah lama meninggalkan paradigma ke-5 dalam ilmu administrasi negara yaitu administrasi negara sebagai administrasi negara (1970-?) sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry.[3] Henry hanya menentukan bahwa paradigma ke-5 dimulai sejak tahun 1970, tetapi ia tidak memberi batasan sampai berapa lama paradigma ke-5 bertahan. Sejak 1990 sampai saat ini teori dan konsep administrasi negara sudah berkembang sangat pesat, terutama dengan munculnya paradigma New Public Management (NPM) pada permulaan tahun 1990 yang kemudian disusul oleh New Public Service (NPS) pada tahun 2000an.
Dalam memahami teori administrasi negara secara paradigmatik, tulisan Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt yang berjudul The New Public Service: Serving, not Steering dapat digunakan untuk menemukenali perkembangan paradigma administrasi negara klasik sampai administrasi negara kontemporer. Tulisan tersebut diterbitkan pertama kali dalam bentuk buku pada tahun 2003 di New York. Sejak kemunculannya buku ini mendapat respon yang positif dari kalangan cendikiawan administrasi negara karena dianggap mampu memberikan perspektif alternatif dalam memandang administrasi negara. 
Sebelum terbit berbentuk buku, pada tahun 2000 Denhardt dan Denhardt sudah pernah mempublikasikan tulisan yang sama, namun dengan judul yang berbeda yaitu The New Public Service: Serving Rather than Steering dalam jurnal Public Administration Review.[4] Kemudian disusul dengan tulisan yang lain tetapi kurang lebih dengan ide yang sama dalam International Review of Public Administration pada tahun 2003, dengan judul The New Public Service: An Approach to Reform.[5] Buku yang diterbitkan pada tahun 2003 adalah repetisi dan modifikasi dari dua tulisan yang pernah muncul sebelumnya.
Denhardt dan Denhardt mencoba membagi paradigma administrasi Negara atas tiga kelompok besar, yaitu paradigma The Old Public Administration (OPA), The New Public Management (NPM) dan The New Public Service (NPS). Menurut Denhardt dan Denhardt  paradigma OPA dan NPM kurang relevan dalam mengaddres persoalan-persoalan publik karena memiliki landasan filosofis dan ideologis yang kurang sesuai (inappropriate) dengan administrasi Negara, sehingga perlu paradigma baru yang kemudian disebut sebagai NPS.
Paradigma OPA tidak bisa dipisahkan dari tiga pemikiran, yaitu paradigma dikotomi politik-administrasi, rational-model Herbert Simon dan teori pilihan publik (public choice). Pertama, paradigma dikotomi politik-administrasi yang mencoba menawarkan gagasan pemisahan politik-administrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry. Paradigma dikotomi politik-administrasi memiliki dua kunci pokok yang menjadi tema ide mereka; (i) Politik berbeda (distinct) dengan administrasi. Secara naluriah, politik adalah arena dimana kebijakan (policy) diambil sehingga administrasi tidak berhak berada dalam arena tersebut. Pejabat-pejabat politik (elected agencies) bertanggung-jawab mengartikulasikan kepentingan publik dan memformulasikannya menjadi sebuah produk politik berupa kebijakan. Administrasi hanya bertugas mengimplementasikan (administered) kebijakan tersebut. Dengan demikian, maka fungsi politik dan administrasi harus dipisahkan agar tidak saling mempengaruhi (politisasi-birokrasi). Administrasi tidak boleh terkooptasi oleh kepentingan politik sehingga birokrasi menjadi profesional dan netral dalam menjalankan kebijakan publik; (ii) Pimpinan pada setiap level dalam organisasi administrasi juga harus mampu menata struktur dan strategi organisasi yang memungkinkan organisasi mencapai tujuannya dengan efisien. Atasan diberikan keleluasaan untuk memberikan punishment kepada bawahan yang lalai.    
OPA juga tidak bisa dilepaskan dari prinsip-prinsip manajemen ilmiah (scientific management) Frederick W. Taylor dan manajemen klasik POSDCORB ciptaan Luther Gullick. Administrasi negara harus berorientasi secara ketat kepada efisiensi. Semua sumber daya (man, material, machine, money, method, market) digunakan sebaik-baiknya untuk mencapai prinsip efisiensi. Aparat pemerintah harus bertindak sesuai petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dengan sangat rigid dan kaku. Tidak ada ada celah bagi birokrasi untuk menggunakan diskresinya karena dikhawatirkan dapat mengurangi efisiensi. Pejabat pada level atas (top-management) diminta untuk mengontrol bawahan dengan otoritas-birokratik secara top-down.
Kedua, manusia rasional (administratif) Herbert Simon juga memberikan pengaruh terhadap OPA. Menurut Simon, manusia dipengaruhi oleh rasionalitas mereka dalam mencapai tujuan-tujuannya. Rasionalitas yang dimaksud di sini hampir sama dengan efisiensi yang dikemukakan oleh aliran scientific management. Manusia yang bertindak secara rasional ini disebut dengan manusia administratif (administrative man). Manusia administratif adalah orang yang memiliki perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan organisasi dan tujuan pribadinya. Orang yang bekerja di dalam organisasi juga memiliki motif pribadi yang harus dipenuhi oleh organisasi. Tujuan pribadi ini tidak selalu uang, tetapi bisa juga pengakuan, rasa ingin dihormati dan dihargai serta keinginan untuk menunjukkan jati diri.
Ketiga, teori pilihan publik (public choice) merupakan teori yang melekat (asociate) dalam OPA. Teori pilihan publik berasal dari filsafat manusia ekonomi (economic man) dalam teori-teori ekonomi. Inti ajaran teori pilihan publik menyatakan bahwa manusia adalah individu yang rasional yang selalu menginginkan terpenuhinya kebutuhan pribadinya (self-interested) dan memaksimalkan keuntungan pribadinya (own-utilities). Menurut teori pilihan publik manusia akan selalu mencari keuntungan atau manfaat yang paling tinggi pada setiap situasi dalam setiap pengambilan keputusan. Manusia diasumsikan sebagai makhluk ekonomi yang selalu mencari keuntungan pribadi melalui serangkaian keputusan yang mampu memberikan manfaat yang paling tinggi.
Secara ringkas, Denhardt dan Denhardt menguraikan karakteristik OPA sebagai berikut:[6]
         Fokus utama adalah penyediaan pelayanan publik melalui organisasi atau badan resmi pemerintah.
         Kebijakan publik dan administrasi negara dipahami sebagai penataan dan implementasi kebijakan yang berfokus pada satu cara terbaik (on a single), kebijakan publik dan administrasi negara sebagai tujuan yang bersifat politik.
         Administrator publik memainkan peranan yang terbatas dalam perumusan kebijakan publik dan pemerintahan; mereka hanya bertanggung-jawab mengimplementasikan kebijakan publik.
         Pelayanan publik harus diselenggarakan oleh administrator yang bertanggung-jawab kepada pejabat politik (elected officials) dan dengan diskresi terbatas.
         Administrator bertanggung-jawab kepada pimpinan pejabat politik (elected political leaders) yang teleh terpilih secara demokratis.
         Program-program publik dilaksanakan melalui organisasi yang hierarkis dengan kontrol yang ketat oleh pimpinan organisasi.
         Nilai pokok yang dikejar oleh organisasi publik adalah efisiensi dan rasionalitas.
         Oranisasi publik melaksanakan sistem tertutup sehingga keterlibatan warga negara dibatasai.
         Peranan administrator publik adalah melaksanakan prinsip-prinsip Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinating, Reporting dan Budgetting.

Paradigma OPA dikritik oleh paradigma NPM. Secara konseptual OPA berbeda dengan NPM. NPM mengacu kepada sekelompok ide dan praktik kontemporer untuk menggunakan pendekatan-pendekatan dalam sektor privat (bisnis) pada organisasi sektor publik. NPM adalah suatu gerakan yang mencoba menginjeksikan prinsip-prinsip organisasi sektor privat ke dalam organisasi pemerintah. Pemerintahan yang kaku dan sentralistik sebagaimana yang dianut oleh OPA harus diganti dengan pemerintahan yang berjiwa wirausaha dan profitable. NPM sering diasosiasikan juga dengan managerialism (Pollitt), market-based public administration (Land dan Rosenbloom), post-bureaucratic paradigm (Barzelay) dan entrepreneurial government (Osborne dan Gaebler).[7]
NPM merupakan genealogis dari ideologi neoliberalisme karena menganjurkan pelepasan fungsi-fungsi pemerintah kepada sektor swasta. Inti dari ajaran NPM dapat diuraikan sebagai berikut:[8]
1.      Pemerintah diajak untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional dan menggantikannya dengan perhatian terhadap kinerja atau hasil kerja.
2.      Pemerintah sebaiknya melepaskan diri dari birokrasi klasik dan membuat situasi dan kondisi organisasi, pegawai dan para pekerja lebih fleksibel.
3.      Menetapkan tujuan dan target organisasi dan personel lebih jelas sehingga memungkinkan pengukuran  hasil melalui indikator yang jelas.
4.      Staf senior lebih berkomitmen secara politis dengan pemerintah sehari-hari daripada netral.
5.      Fungsi pemerintah adalah memperhatikan pasar, kontrak kerja keluar, yang berarti pemberian pelayanan tidak selamanya melalui birokrasi, melainkan bisa diberikan oleh sektor swasta.
6.      Fungsi pemerintah dikurangi melalui privatisasi.

Penerapan paradigma NPM sangat sukses di Amerika Serikat, Inggris dan Selandia Baru sehingga “virusnya” mulai menyebar ke negara-negara lain. Praktik NPM di Amerika Serikat populer dengan pemerintahan wirausaha (entrepreneurial government) yang dirancang oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Osborne dan Gaebler menawarkan 10 prinsip pemerintahan yang berjiwa wirausaha.[9]
1.      Pemerintahan katalis; pemerintahan yang mengarahkan bukan mengayuh.
2.      Pemerintahan milik masyarakat; pemerintahan yang memberdayakan bukan melayani.
3.      Pemerintahan kompetetif; pemerintahan yang menginjeksikan semangat kompetisi dalam pelayanan publik.
4.      Pemerintahan yang digerakkan oleh misi; pemerintahan yang mampu merubah orientasi dari pemerintahan yang digerakkan oleh aturan.
5.      Pemerintahan yang berorientasi hasil; pemerintahan yang membiayai hasil bukan input.
6.      Pemerintahan yang berorientasi pelanggan; pemerintahan yang memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi.
7.      Pemerintahan wirausaha; pemerintahan yang menghasilkan profit bukan menghabiskan.
8.      Pemerintahan antisipatif; pemerintahan yang berorientasi pencegahan bukan penyembuhan.
9.      Pemerintahan desentralisasi; merubah pemerintahan yang digerakkan oleh hierarki menjadi pemerintahan partisipatif dan kerjasama tim.
10.  Pemerintahan yang berorientasi pasar; pemerintahan yang mendorong perubahan melalui pasar.

NPS: Kritik terhadap NPM
Dalam pandangan NPM, organisasi pemerintah diibaratkan sebagai sebuah kapal. Menurut Osborne dan Gaebler, peran pemerintah di atas kapal tersebut hanya sebagai nahkoda yang mengarahkan (steer) lajunya kapal bukan mengayuh (row) kapal tersebut. Urusan kayuh-mengayuh[10] diserahkan kepada organisasi di luar pemerintah, yaitu organisasi privat dan organisasi masyarakat sipil sehingga mereduksi fungsi domestikasi pemerintah. Tugas pemerintah yang hanya sebagai pengarah memberikan pemerintah energi ekstra untuk mengurus persoalan-persoalan domestik dan internasional yang lebih strategis, misalnya persoalan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan luar negeri.
Paradigma steering rather than rowing ala NPM dikritik oleh Denhardt dan Denhardt sebagai paradigma yang melupakan siapa sebenarnya pemilik kapal (who owned the boat). Seharusnya pemerintah memfokuskan usahanya untuk melayani dan memberdayakan warga negara karena merekalah pemilik “kapal”. Selengkapnya, Denhardt dan Denhardt menulis sebagai berikut,
In our rush to steer, perhaps we are forgetting who owns the boat…Accordingly, public administrators should focus on their responsibility to serve and empower citizens as they manage public organizations and implement public policy. In other words, with citizens at the forefront, the emphasis should not be placed on either steering or rowing tha governmental boat, but rather on building public institutions marked by integrity and responsiveness.

Akar dari NPS dapat ditelusuri dari berbagai ide tentang demokrasi yang pernah dikemukakan oleh Dimock, Dahl dan Waldo. NPS berakar dari beberapa teori, yang meliputi:
1.      Teori tentang demokrasi kewarganegaraan; perlunya pelibatan warganegara dalam pengambilan kebijakan dan pentingnya deliberasi untuk membangun solidaritas dan komitmen guna menghindari konflik.
2.      Model komunitas dan masyarakat sipil; akomodatif terhadap peran masyarakat sipil dengan membangun social trust, kohesi sosial dan jaringan sosial dalam tata pemerintahan yang demokratis.
3.      Teori organisasi humanis dan administrasi negara baru; administrasi negara harus fokus pada organisasi yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan (human beings) dan respon terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan isu-isu sosial lainnya.
4.      Administrasi negara postmodern; mengutamakan dialog (dirkursus) terhadap teori dalam memecahkan persoalan publik daripada menggunakan one best way perspective.

Dilihat dari teori yang mendasari munculnya NPS, nampak bahwa NPS mencoba mengartikulasikan berbagi teori dalam menganalisis persoalan-persoalan publik. Oleh karena itu, dilihat dari berbagai aspek, menurut Denhardt dan Denhardt paradigma NPS memiliki perbedaan karakteristik dengan OPA dan NPM. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Diferensiasi OPA, NPM dan NPS
Aspek
Old Public Administration
New Public Management
New Public Service
Dasar teoritis dan
fondasi epistimologi
Teori politik
Teori ekonomi
Teori demokrasi
Rasionalitas dan model perilaku Manusia
Rasionalitas Synoptic (administrative man)
Teknis dan rasionalitas ekonomi (economic man)
Rasionalitas strategis atau rasionaitas formal (politik, ekonomi dan organisasi)
Konsep
kepentingan publik
Kepentingan publik secara politis dijelaskan dan diekspresikan dalam aturan hukum
Kepentingan publik mewakili agregasi kepentingan individu
Kepentingan publik
adalah hasil dialog
berbagai nilai
Responsivitas
birokrasi publik
Clients dan constituent
Customer
Citizen’s
Peran pemerintah
Rowing
Steering
Serving
Pencapaian tujuan
Badan pemerintah
Organisasi privat dan nonprofit
Koalisi antarorganisasi publik, nonprofit dan privat
Akuntabilitas
Hierarki administratif
dengan jenjang yang tegas
Bekerja sesuai dengan kehendak pasar (keinginan pelanggan)
Multiaspek: akuntabilitas
hukum, nilai-nilai, komunitas, norma politik, standar profesional
Diskresi administrasi
Diskresi terbatas
Diskresi diberikan secara luas
Diskresi dibutuhkan tetapi dibatasi dan bertanggung-jawab
Struktur organisasi
Birokratik yang ditandai
dengan otoritas top-down
Desentralisasi organisasi dengan kontrol utama berada pada para agen
Struktur kolaboratif dengan kepemilikan yang berbagi secara internal dan eksternal
Asumsi terhadap
motivasi pegawai
dan administrator
Gaji dan keuntungan,
proteksi
Semangat entrepreneur
Pelayanan publik dengan
keinginan melayani
masyarakat
Sumber: Denhardt dan Denhardt (2003: 28-29)

Seperti halnya Osborne dan Gaebler, Denhardt dan Denhardt juga merumuskan prinsip-prinsip NPS yang memiliki diferensiasi dengan prinsip-prinsip OPA dan NPM. NPS mengajak pemerintah untuk:
  1. Melayani masyarakat sebagai warga negara, bukan pelanggan; melalui pajak yang mereka bayarkan maka warga negara adalah pemilik sah (legitimate) negara bukan pelanggan.
  2. Memenuhi kepentingan publik; kepentingan publik seringkali berbeda dan kompleks, tetapi negara berkewajiban untuk memenuhinya. Negara tidak boleh melempar tanggung-jawabnya kepada pihak lain dalam memenuhi kepentingan publik.
  3. Mengutamakan warganegara di atas kewirausahaan; kewirausahaan itu penting, tetapi warga negara berada di atas segala-galanya.
  4. Berpikir strategis dan bertindak demokratis; pemerintah harus mampu bertindak cepat dan menggunakan pendekatan dialog dalam menyelesaikan persoalan publik.
  5. Menyadari komplekstitas akuntabilitas; pertanggungjawaban merupakan proses yang sulit dan terukur sehingga harus dilakukan dengan metode yang tepat.
  6. Melayani bukan mengarahkan; fungsi utama pemerintah adalah melayani warga negara bukan mengarahkan.
  7. Mengutamakan kepentingan masyarakat bukan produktivitas; kepentingan masyarakat harus menjadi prioritas meskipun bertentangan dengan nilai-nilai produktivitas.

Otokritik terhadap NPS
            NPS adalah cara pandang baru dalam administrasi negara yang mencoba menutupi (cover) kelemahan-kelemahan paradigma OPA dan NPM. Namun demkian, apakah NPS tidak memiliki kekurangan? Berikut ini akan diuraikan beberapa kritik terkait dengan beberapa kelemahan NPS.
1. Pendekatan politik dalam administrasi negara
Secara epistimologis, NPS berakar dari filsafat politik tentang demokrasi. Denhardt dan Denhardt menspesifikasikkannya menjadi demokrasi kewargaaan. Demokrasi merupakan suatu paham pemerintahan yang berdasarkan pada aturan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebaikan bersama.[11] Dalam konteks demokrasi kewargaan, demokrasi dalam hal ini dimaknai sebagai pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan warga negara secara keseluruhan. Warga negara memiliki hak penuh memperoleh perhatian dari pemerintah dan warga negara berhak terlibat dalam setiap proses pemerintahan (politik dan pengambilan kebijakan).
Denhardt dan Denhardt berhasil mencari akar mengapa pemerintah harus melayani (serve) bukan mengarahkan (steer), mengapa pemerintah memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai warga negara (citizens) bukan sebagai pelanggan (customers), tetapi mereka lupa bahwa nalar politik telah masuk dalam upaya pencarian state of the art administrasi negara--pelayanan publik. Lebih jauh, Denhardt dan Denhardt telah terjerembab dalam pendulum administrasi negara sebagai ilmu politik (paradigma 3). Padahal, dengan merumuskan NPS sebagai antitesa terhadap NPM berarti mereka meyakini bahwa administrasi negara telah bergerak melewati paradigma 5.
Tidak ada yang salah ketika Denhardt dan Denhardt mencari akar ideologis paradigma NPS dari teori-teori politik karena administrasi negara sangat dipengaruhi oleh ilmu politik. Hanya saja nalar politik seperti ini harus diwaspadai sebagai upaya merewind administrasi negara sebagai ilmu politik. Semestinya Denhardt dan Denhardt dapat menggunakan nalar administrasi negara dalam mencari akar dan prinsip-prinsip NPS yang bisa dikonstatasikan dengan NPM. Misalnya, Denhardt dan Denhardt dapat meyakinkan orang lain bahwa pemerintah bertanggung-jawab melayani masyarakat sebagai warga negara karena pada awalnya warga negaralah yang mendirikan negara dan kemudian menjalankannya serta terikat dengan aturan-aturan negara. Oleh karena itu, secara etika dan moral warga negara adalah pemilik negara.
2. Standar ganda dalam mengkritik NPM
NPS berusaha mengkritik NPM, tetapi tidak tegas karena kritikan terhadap NPS hanyalah kritik secara filosofis-ideologis bukan kritik atas realitas pelaksanaan NPM yang gagal di banyak negara. NPM memang sukses diterapkan di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Selandia Baru dan beberapa negara maju lainnya, tetapi bagaimana penerapannya di negara-negara berkembang? Kenyataannya, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia dan negara miskin, seperti negara-negara di kawasan benua Afrika yang gagal menerapkan konsep NPM karena tidak sesuai dengan landasan ideologi, politik, ekonomi dan sosial-budaya negara yang bersangkutan. Akhirnya, negara tersebut tetap miskin dan tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kemajuan.
Denhardt dan Denhardt mengkritik NPS sebagai konsep yang salah dalam memandang masyarakat yang dilayani. NPM memandang masyarakat yang dilayani sebagai customer, sedangkan NPS menganggap masyarakat yang dilayani sebagai warga negara (citizens). Namun, Denhardt dan Denhardt lupa mencari akar ideologis, mengapa NPM memiliki perspektif demikian dalam memandang subjek pelayanan? mengapa NPM menawarkan “jurus” privatisasi, liberalisasi dan deregulasi untuk mendongkrak kinerja pemerintah? Tidak bisa dipungkiri bahwa NPM adalah anak ideologis neoliberalisme yang mencoba menerapkan mekanisme pasar dan berupaya secara sistematis mereduksi peran pemerintah, sehingga pemerintah menurut konsep berada di belakang kemudi kapal, sedangkan kapalnya dijalankan oleh organ-organ di luar pemerintah.
Dalam konsep NPS yang diajukan oleh Denhardt dan Denhardt nilai-nilai neoliberalisme NPM tidak hilang secara otomatis. Ketika pemerintah melayani masyarakat sebagai warga negara misalnya, aspek privatisasi bisa saja tetap berlangsung asalkan atas nama melayani kepentingan warga negara bukan pelanggan. Misalnya, sektor pendidikan dapat diprivatisasi asalkan pelaksana pendidikan tetap melayani masyarakat sebagai warga negara bukan pelanggan.
3. Aplikasi NPS masih diragukan
            Prinsip-prinsip NPS belum tentu bisa diaplikasikan pada semua tempat, situasi dan kondisi. Administrasi negara sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (ideologi, politik, hukum, ekonomi, militer, sosial dan budaya), sehingga suatu paradigma yang sukses di suatu tempat belum tentu berhasil diterapkan pada tempat yang lain. Prinsip-prinsip NPS masih terlalu abstrak dan perlu dikonkritkan lagi. Prinsip dasar NPS barangkali bisa diterima semua pihak, namun bagaimana prinsip ini bisa diimplementasikan sangat bergantung pada aspek lingkungan.
Lagi pula, NPS terlalu mensimplifikasikan peran pemerintah pada aspek pelayanan publik. Padahal, urusan pemerintah tidak hanya berkaitan dengan bagaimana menyelenggarakan pelayanan publik, tetapi juga menyangkut bagaimana melakukan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Inggris dan Selandia Baru yang tidak lagi berkutat pada upaya percepatan pembangunan (development acceleration) dan peningkatan pertumbuhan ekonomi karena negara-negara tersebut relatif sudah stabil, maka pelayanan publik menjadi program prioritas yang strategis. Namun, bagi negara-negara berkembang, pelayanan publik bisa jadi belum menjadi agenda prioritas karena masih berupaya mengejar pertumbuhan dan meningkatkan pembangunan.

Epilog
            NPS merupakan paradigma yang relatif masih baru dalam kajian administrasi negara. NPS berakar dari teori demokrasi kewargaan, model komunitas dan masyarakat sipil, teori organisasi humanis dan administrasi negara baru serta administrasi negara postmodern. NPS memiliki perbedaan karakteristik dengan OPA dan NPM. NPS berusaha menutupi kekurangan-kekurangan pada paradigma OPA dan NPM dengan menawarkan sejumah opsi. Inti dari paradigma NPS adalah mereposisi peran negara dan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Nalar politik sangat kental dalam mencari akar NPS. Namun NPS sendiri alpa dalam mengkaji landasan filosofis-ideologis NPM sehingga NPM berbeda dengan NPS.


Referensi


Denhardt, Janet V. dan Robert B. Denhardt. 2003. The New Public Service: Serving, not Steering. Armonk, New York: M.E Sharpe.

Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2000. “The New Public Service: Service Rather than Steering”. Public Administration Review 60 (6).

Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt. 2003. “The New Public Service: An Approach to Reform”. International Review of Public Administration 8 (1).

Henry, Nicholas. 1995. Public Administration and Public Affairs (Sixth Edition). Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall.

Hughes, Owen E. 1998. Public Management and Administration: An Introduction (Second Edition). New York: St. Martin Press.

Keban, Yeremias T. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu (Edisi Pertama). Yogyakarta: Gava Media.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 2003. Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi): Sepuluh Prinsip untuk Mewujudkan Pemerintahan Wirausaha. Jakarta: PPM.

Pasalong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.

Ritzer, George (editor). 2005. Encyclopedia of Social Theory (Volume 2). Thousand Oaks, California: Sage Publication.

Thoha, Miftah. 2009. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. “Perkembangan Mutakhir Ilmu Administrasi Negara”. Teori-teori Politik Dewasa Ini. Penyunting: Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti. Jakarta: Rajawali Pers.



[1] Coba periksa Nicholas Henry, Public Administration and Public Affairs (Sixth Edition), Prentice-Hall Englewood Cliffs, New Jersey, 1995. Periksa juga Harbani Pasalong, Teori Administrasi Publik, Alfabeta, Bandung, 2007.
[2] Moeljarto Tjokrowinoto, “Perkembangan Mutakhir Ilmu Administrasi Negara”, Teori-teori Politik Dewasa Ini, Penyunting: Miriam Budiardjo dan Tri Nuke Pudjiastuti, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, halaman 194-195.
[3] Nicholas Henry, Op.Cit., halaman 24.
[4] Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, “The New Public Service: Service Rather than Steering”, Public Administration Review 60 (6), 2000, halaman 549-559.
[5] Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, “The New Public Service: An Approach to Reform”, International Review of Public Administration 8 (1), 2003, halaman 3-10.
[6] Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, The New Public Service: Serving, not Steering, M.E Sharpe, Armonk, New York, 2003, halaman 11-12.
[7] Owen E. Hughes, Public Management and Administration: An Introduction (Second Edition), St. Martin Press, New York, 1998, halaman 52.
[8] Yeremias T. Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu (Edisi Pertama), Gava Media, Yogyakarta, 2004, halaman 95.
[9] David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government (Mewirausahakan Birokrasi): Sepuluh Prinsip untuk Mewujudkan Pemerintahan Wirausaha, PPM, Jakarta, 2003, halaman v.
[10] Kayuh-mengayuh ini bisa dimaknai dengan penyelenggaraan urusan pelayan publik yang sudah bisa diselenggarakan oleh swasta dan perorangan dan urusan-urusan lainnya yang sudah mampu dipenuhi oleh unsur di luar pemerintah.
[11] George Ritzer (editor), Encyclopedia of Social Theory (Volume 2), Sage Publication, Thousand Oaks, California, 2005, halaman 191.

STRES DAN PRODUKTIVITAS PEGAWAI (Prilaku Organisasi)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.      LATAR BELAKANG
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, membawa perubahan dalam kehidupan manusia. Perubahan-perubahan itu membawa akibat yaitu tuntutan yang lebih tinggi terhadap setiap individu untuk lebih meningkatkan kinerja mereka sendiri dan masyarakat luas. Agar eksistensi diri tetap terjaga, maka setiap individu akan mengalami stress teruatama individu yang kurang dapat menyesuaikan diri  dengan perkembangan tersebut. Setiap orang dimana pun ia berada dalam suatu organisasi, dapat berperan sebagai sumber stres bagi orang lain. Mengelola stres diri sendiri berarti mengendalikan diri sendiri dalam kehidupan. Sebagai seorang manajer, mengelola stres ditempat kerja, lebih bersifat pemahaman akan penyebab stress orang lain dia mengambil tindakan untuk menguranginya dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.
Banyak organisasi yang saat ini mengalami fluktuasi dalam proses pencapaian tujuannya, ada banyak hal yang dapat menjelaskan penyebab terjadinya hal tersebut, salah satunya adalah stress kerja yang dialami seorang pegawai didalam organisasi tersebut. Stress pun timbul karena ada banyak alasan dan menimbulkkan efek yang beragam, oleh karena itu makalah ini disusun untuk mengetahui apa itu stress yang sebenarnya, apa efeknya, apa gejala gejala yang timbul, dan bagaimana pengaruhnya terhadap organisasi.
Stres sebagai suatu ketidakseimbangan antara keinginan dan kemampuan untuk memenuhinya sehingga menimbulkan konsekuensi penting bagi dirinya. Stres sebagai kondisi dinamis dimana individu dihadapakan pada kesempatan, hambatan dan keinginan hasil dari yang diperoleh sangatlah penting tetapi tidak dapat dipastikan.
2.      RUMUSAN MASALAH
1.      Apa defenisi dari Stres dan produktivitas ?
2.      Apa faktor yang mempengaruhi Tingkat Produktivitas terhadap pegawai ?
3.      Bagaimana pengaruh stres terhadap organisasi ?
4.      Apa faktor penyebab Stres ?
5.      Bagaimana dampak dan cara mengatasi Stres ?
3.      TUJUAN DAN MANFAAT
1.      Untuk mengetahui definis dari stres dan produktivitas
2.      Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Tingkat Produktivitas terhadap pegawai
3.      Untuk mengetahui pengaruh stres terhadap organisasi
4.      Untuk mengetahui faktor penyebab Stres
5.      Untuk mengetahui dampak dan cara mengatasi Stres.























BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Pengertian Stres
Istilah stress berasal dari kata stringere yang mempunyai arti ketegangan dan tekanan. Stress merupakan reaksi yang tidak diharapakan muncul disebabkan oleh tingginya tuntutan lingkungan kepada seseorang. Penyakit stress adalah penyakit yang menggaggu kejiwaan seseorang karena tidak dapat mengatasi/menyalurkan dan mencari jalan keluar yang tepat, baik, dan benar. 
Richard Bugelski dan Anthony M Graziano (1980) menyatakan bahwa stres adalah suatu istilah umum yang digunakan psikolog-psikolog untuk menunjukkan ketegangan seseorang karena tidak mampu mengatasi tuntutan-tuntutan atau tekanan-tekanan sekelilingnya. Dalam bahasa sehari-hari, stres adalah suatu kondisi ketegangan yang kemudian mempengaruhi fisik, mental, perilaku seseorang.
Menurut charles D, Spielberger (dalam Iiandoyo, 2001; 63) menyebutkan bahwa stres adalah tentang aksternal yang mengenai seseorang,  misalnya objek-objek dalam lingkungan atau dalan stimulus yang secara objektif adalah berbahaya. Stres juga bisa diartikan sebagai tekanan,  ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
Stres kerja adalah suatu perasaan yang menekan atau rasa tertekan yang dialami pegawai dalam menghadapi pekerjaannya (Anwar Prabu 1993 ; 93).sedangkan Beehr dan Franz (dikutip Bambang Tarupolo, 2002 : 17), mendefinisikan stres kerja sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau tegang karena pekerjaan, tempat kerja atau situasi kerja yang tertentu.
1.      Menurut Robbins (2001:563) stress juga dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang menekan keadaan psikis seseorang dalam mencapai suatu kesempatan dimana untuk mencapai kesempatan tersebut terdapat batasan atau penghalang.
2.      Menurut lazarus (1976), stres adalah suatu keadaan psikologis individu yang disebabkan karena individu dihadapkan pada situasi internal dan eksternal.
3.      Menurut Korchin (1976), keadaan stress muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integrasi seseorang. Sedangkan menurut Luthans (2005:441) Stres bukan sesuatu yang selalu merusak, buruk atau dihindari.
B. Pengertian Produktivitas
Produktivitas (John Kenderick) hubungan antara keluaran (K) barang serta jasa dan masukan (M) sumberdaya, manusia dan bukan manusia, yang dipergunakan dalam proses produksi; hubungan tersebut biasanya dinyatakan dalam bentuk nisbah K/M. Semakin tinggi nilai numeric dari nisbah ini, semakin besar produktivitas. Baik tingkat nisbah produktivitas dalam suatu jangka waktu tertentu maupun perbandingan dengan nisbah lain dari waktu ke waktu adalah ukuran yang penting. Tingkat produktivitas pada suatu waktu tertentu menggambarkan effisiensi operasi pada saat itu. Perbandingan nisbah dari waktu ke waktu menggambarkan keuntungan atau kerugian dalam produktivitas. 

BAB III
PEMBAHASAN
A.    Stres
Stres adalah suatu kondisi yang dinamis saat seorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan yang hasilnya dipandang tidak pasti dan penting. Stress adalah beban rohani yang melebihi kemampuan maksimum rohani itu sendiri, sehingga perbuatan kurang terkontrol secara sehat. Stres tidak selalu buruk, walaupun biasanya dibahas dalam konteks negatif, Karena stres memiliki nilai positif ketika menjadi peluang saat menawarkan potensi hasil.
 Sebagai contoh, banyak profesional memandang tekanan berupa beban kerja yang berat dan tenggat waktu yang mepet sebagai tantangan positif yang menaikkan mutu pekerjaan mereka dan kepuasan yang mereka dapatkan dari pekerjaan mereka.
Stres bisa positif dan bisa negatif. Para peneliti berpendapat bahwa stres tantangan, atau stres yang menyertai tantangan di lingkungan kerja, beroperasi sangat berbeda dari stres hambatan, atau stres yang menghalangi dalam mencapai tujuan. Meskipun riset mengenai stres tantangan dan stres hambatan baru tahap permulaan, bukti awal menunjukan bahwa stres tantangan memiliki banyak implikasi yang lebih sedikit negatifnya dibanding stres hambatan
Masalah-masalah tentang  stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan pengertian stres yang terjadi dilingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi antara seorang pegawai dengan aspek-aspek pekerjaan dalam membicarakan stres kerja ini perlu terlebih dahulu perlu mengerti pengertian stres secara umum.
            Cary Cooper dan Alison Straw (1995 ; 8-15) mengemukakan gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini :
a)      Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang, pencernaan tertaganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan sakit kepala salah urat dan gelisah.
b)      Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit membuat keputusan, hilangnya kreativitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain.
c)      Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel menjadi meledak-ledak.
Dari beberapa uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang dimana ia terpakasa memberikan tanggapan  melebihi kemampuan penyesuaian dirinya terdapat suatu tuntutan eksternal (lingkungan).

B.     Tingkat Produktivitas terhadap pegawai
Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat produktifitas dan prestasi kerja para pegawai dalam suatu organisasi. Faktor-faktor tersebut antara lain, keahlian/ketrampilan, motivasi, kepuasan kerja, stress, lingkungan fisik/psikis pekerjaan, sistem kompensasi, sistem disiplin, dll. Selanjutnya berdasarkan pengamatan sehari-hari dalam kehidupan kerja seorang pegawai pegawai ternyata diketahui bahwa dua kondisi utama yang sangat berperan dalam tingkat produktifitas dan prestasi kerja adalah masalah kepuasan kerja dan stress, bila kepuasan kerja dan stress tidak dapat dikendalikan lagi maka salah satu cara untuk mengatasinya adalah program konseling yang dapat berperan efektif untuk meningkatkan motivasi, kepuasan kerja, maupun reaksi positif terhadap stress. Program konseling tidak selamanya selalu berhasil yang disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu pada umumnya program konseling selalu dibarengi dengan program pendisiplinan dalam bentuk tindakan pendisiplinan preventif maupun korektif yang bersifat konsisten dan kontinyu bagi seluruh pegawai yang ada dalam organisasi tersebut.
Setiap aspek dipekerjaan dapat menjadi pembangkit stres. Tenaga kerja yang menentukan sejauh mana situasi yang dihadapi merupakan situasi stres atau tidak. Tenaga kerja dalam interaksinya dipekerjaan, dipengaruhi pula oleh hasil interaksi ditempat lain. Dirumah, disekolah, diperkumpulan, dan sebagainya.
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karateristik kepribadian pegawai dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat mempengaruhi daya tahan stres seorang pegawai.
Gejala stres ditempat kerja, yaitu meliputi :
a)      Kepuasaan kerja rendah
b)      Kinerja yang menurun
c)      Semangat dan energi menjadi hilang
d)     Komunikasi tidak lancar
e)      Pengambian keputusan jelek
f)       Kreativitas dan inovasi kurang
g)      Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.
Semua yangdisebutkan diatas perlu dilihat dalam hubungannya dengan kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya.
C.     Pengaruh Stress Terhadap Organisasi.
Jika dilihat dari materi yang ada diatas, maka stress merupakan sesuatu kondisi yang dialami seseorang yang merupakan tekanan bagi dirinya sehingga akan menimbulkan efek efek yang kadang tidak terduga. Jika di dalam sebuah organisasi, seorang pegawai yang mengalami stress selama dia mampu menanganinya dengan baik dan berdampak positif bagi dirinya maka tidak akan mempengaruhi kinerja organisasi dalam arti negative melainkan akan memacu produktivitas suatu organisasi. Dia akan semakin rajib berkerja dan lebih kreatif, sayangnya stress yang bersifat konruktif ini jarang ditemui di kalangan pegawai dalam organisasi.
Hanya saja stress yang sering dialami seseorang saat ini dalam suatu organisasi merupakan stress yang bersifat distress, artinya stress ini adalah hasil respon terhadap stress yang berifat negative dan destruktif. Maka stress ini jelas akan mempengaruhi produkivitas organisasi. Contohnya adalah seorang pegawai yang sedang mengalami stress akan memnunjukkan gejala malas bekerja, tidak kreativ dan sering sakit, maka hal ini akan memperngaruhi pekerjaannya didalam organisasi, sehingga dia tidak bisa memenuhi kewajibannya dan akan menjadi halangan bagi suato organisasi untuk mencapai tujuannya.
Manajer sebagai seseorang yang mengatur, mengurus dan mengarahkan pegawai dalam organisasi memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kelancaran proses pencapaian tujuan organisasi, oleh karena itu para manajer harus memiliki ide, cara atau strategi untuk menekan tingkat stress pegawainya, seperti dengan adanya acara rekreasi tahunan pegawai
D.    Faktor Penyebab Stres Kerja
Timbulnya stres kerja dikalangan pegawai atau pegawai disuatu organisasi atau suatu perusahaan disebabkan oleh beberapa faktor. Dari beberapa faktor penyebab stres secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 yaitu faktor yang berasal dari lingkungan kerja dan faktor yang berasal dari luar lingkungan kerja (off the job).
1)      Faktor dari lingkungan pekerjaan
Faktor-faktor dari lingkungan pekerjaan yang dapat menimbulkan stres diantaranya adalah sebagai berikut :
a)      Beban kerja yang berlebihan
b)      Tekanan atau desakan waktu
c)      Iklim politis yang tidak aman
d)     Umpan balik tentang pelaksanaan
e)      Wewenang yang tidak mencukupi untuk melaksanakan tanggung jawab
f)       Ambiguitas peran (role ambiguity)
g)      Frustasi
h)      Konflik antar pribadi dan antar kelompok
i)        Perbedaan nilai antara perusahaan dengan pegawai
j)        Berbagai bentuk perubahan
2)      Faktor dari luar lingkungan pekerjaan
            Faktor-faktor dari luar lingkungan pekerjaan yang dapat menimbulkan stres diantaranya:
a)      Masalah keuangan keluarga
b)      Masalah-masalah yang bersangkutan dengan anak seperti: anak nakal atau berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan orang tua tanpa mampu mengatasinya.
c)      Masalah-maslah fisik
d)     Masalah perkawinan misalnya; perceraian, pertengkaran antara suami istri dan sebagainya
e)      Perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal
f)       Masalah-masalah pribadi lainnya, seperti duka atas meninggalnya salah satu anggota keluarga.
E.     Dampak Stres Kerja
            Menurut Randall Schuller (1980), stress yang dihadapi oleh pegawai berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, serta tendensi mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak negative yang ditimbulkan oleh stress kerja dapat berupa:
1.      Dampak terhadap Organisasi/perusahaan
a.       Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja.
b.      Mengganggu kenormalan aktivitas kerja
c.       Menurunkan tingkat produktivitas
d.      Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. Kerugian finansial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya.
e.       Banyak pegawai yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya entah karena kelambatan atau pun karena banyaknya kesalahan yang terulang.
2.      Dampak terhadap individu
Munculnya masalah-masalah yang berhubungan dengan :
a.       Kesehatan, banyak penelitian yang menemukan adanya akibat-akibat stress terhadap kesehatan seperti jantung, gangguan pencernaan, darah tinggi, maag, alergi, dan beberapa penyakit lainnya.
b.      Psikologis, stress berkepanjangan akan menyebabkan ketegangan dan kekuatiran yang terus menerus disebut stress kronis. Stress kronis sifatnya menggerigoti dan menghancurkan tubuh, pikiran dan seluruh kehidupan penderitanya secara perlahan-lahan.
c.       Interaksi interpersonal, orang yang sedang stres akan lebih sensitive dibandingkan orang yang tidak dalam kondisi stress. Oleh karena itu sering salah persepsi dalam membaca dan mengartikan suatu keadaan, pendapat dan penilaian, kritik, nasehat, bahkan perilaku orang lain. Orang stress sering mengaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Pada tingkat stress yang berat, orang bisa menjadi depresi, kehilangan rasa percaya diri dan harga diri.
Namun perlu kita ketahui secara bersama bahwa stress tidak selamanya memberikan dampak yang negative terutama bagi prestasi kerja seseorang dalam suatu organisasi. Stress yang dialami oleh pegawai dapat juga membantu (fungsional) dalam meningkatkan prestasi kerja, tapi hal tersebut tergantung pada seberapa besar tingkat stress yang dialami seseorang dan sikap serta kemampuan seseorang dalam merespon stress yang ada. Semuanya tergantung dari bagaimana mengola stress tersebut dengan baik.
F.     Strategi Menangani Stres Kerja
            Stress dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadaapi tanpa memperoleh dampaknya yang negative. Manajemen stress lebih daripada sekedar mengatasinya, yakni belajar menanggulanginya secara adaptif dan efektif. Hampir sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa  yang harus dicoba. Dalam strategi manajemen stress kerja digunakan 2 pendekatan yakni pendekatan individual dan pendekatan organisasional.
a.      Pendekatan individu
Seorang pegawai dapat berusaha sendiri untuk mengurangi level stresnya. Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu, latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu yang baik maka seorang pegawai dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa adanya tuntutan kerja yang tergesah-gesah. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang berat. Selain itu untuk mengurangi stress yang dihadapi pekerja pelru dilakukan kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai strategi terakhir untuk mengurangi stres adalah dengan mengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang dapat memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
b.      Pendekatan organisasional
Beberapa penyebab stress adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur organisasi yang semuanya dikendalikan oleh manajemen, sehingga faktor-faktor itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh manajemen untuk mengurangi stress pegawainya adalah melalui seleksi dan penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan partisifatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui strategi tersebut akan menyebabkan pegawai memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi fisik dan mental.
Secara umum strategi manajemen strea kerja dapat dikelompokkan menjadi strategi penanganan individual, organisasional, dan dukungan sosial.

Stress adalah keseimbangan antara bagaimana kita memandangtuntutan dan bagaimana kita memandang tuntutan-tuntutan dan bagaimana kita berpikir bahwa kita dapat mengatasi semua tuntutan yang menentukan apakah kitatidak merasakan stres, merasakan distress atau eutres. Distres adalah suatu keadaan dimana terlalu sedikit tuntutan yang merangsang anda yang merangsang anda yang menyebabkan kebosanan dan frustasi.
G.    Jenis-Jenis Stres
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
1. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
2. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian. Distres, stres yang disebabkan sesuatu yang buruk, seperti sanksi, orang yang dikasihi menderita sakit parah, karir yang terhambat ,Eustres, stres yang disebabkan oleh sesuatu yang baik, seperti promosi jabatan, tanggung jawab yang meningkat, tekanan waktu, tugas yang berkualitas.








BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
 Stress adalah suatu keadaan yang dialami oleh seseorang yang bersifat internal, dan merupakan suatu perasaan yang bersifat menekan sehingga seseorang akan mengalami putus asa dan kebingungan.
Stress kerja yang terjadi dapat memberikan dampak, baik bagi individu maupun bagi organisasi. Stress kerja dapat berdampak positif khususnya bagi peningkatan kinerja pegawai, namun tentunya stress tersebut dalam tingkatan tertentu atau dalam tingkatan yang sewajarnya dan sebaliknya pula stress dapat memberikan dampak negative jika tingkatan stress yang dialami oleh pegawai terlalu tinggi atau besar dan pada akhirnya dapat pula berdampak bagi efektivitas dan efisiensi suatu organisasi.
Perilaku kerja merupakan hal yang paling substansif dalam suatu organisasi. Keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan oleh perilaku kerja dari para pegawainya. Antara perilaku kerja dan stress kerja yang terjadi dalam suatu perusahaan atau organisasi sangat berkaitan karena stress kerja dapat mempengaruhi perilaku kerja  dari setiap pegawainya.
B. SARAN
Sebaiknya stres yang kemungkinan akan terjadi dalam organisasi khususnya pada pegawai agar dihindari demi menciptakan sebuah organisasi yang baik.






DAFTAR PUSTAKA
Sumber buku :
-          Umam, Khairul. Perilaku Organisasi. 2010. Pustaka Setia. Bandung
-          Handoko,TH. 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia.Yogyakarta: BPFE
        Husein Umar. 1998. Riset Sumber Daya Manusia.Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utam
-          Modul prilaku organisasi
Sumber lain :
-          Loyalitas dan sifat kerja pegawai http://jurnal-sdm-blogspot.com/2009/06/ http;//lukmancoroners.com/2010/04/perilaku individu dalam organisasi.
-          Jacinta F. 2002. Stres kerja.www.e-psikologi.com/masalah/stress